Subscribe:

Pages

bonjour

bienvenue, ici, nous allons en apprendre beaucoup sur l'économie. mais il ya encore de nombreuses lacunes en elle. J'espère que cette explication peut être utile. merci ^^

Minggu, 13 November 2011

sistem perpajakan

Sistem perpajakan ....>> yang berlaku di Indonesia Adalah Self Asessment System, diaman Wajib Pajak diberi kebebasan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajaknya sendiri.
Hingga saat ini kantor pajak telah merubah sistem administrasinya menjadi tiga yaitu KPP Besar, KPP Madya, KPP Pratama. Dimana ketiga KPP tersebut telah menerapkan sistem administrasi modern diantaranya ada Account Representative (AR), kring pajak, dan help desk.
Mereka mengharapkan dengan adanya perubahan sistem tersebut citra negatif Pajak dimasyarakat dpt berubah dari yang semula enggan membayar pajak karena takut berurusan dengan orang pajak menjadi lebih pro aktif untuk membayar pajak. Tetapi yang lebih diinginkan masyarakat sebenarnya adalah perubahan budaya orang pajak sendiri yaitu dari penguasa menjadi pelayan masyarakat sesuai dengan namanya kantor pelayanan.
Kesulitan masyarakat untuk membayar pajak disebabkan kurangnya sosialisasi dr aparat pajak khususnya dimana mereka hanya memberikan sosialisasi kepada WP tertentu saja (besar & berpotensi) bukannya kepada seluruh wajib pajak. salah satu contoh : ketika pelaporan SPT tahunan 2007 banyak WP yang kecewa ternyata mereka sdh tdk terdaftar di KPP dimana sebelumnya mereka terdaftar tetapi pindah ke KPP lain (KPP Pratama lainnya) tanpa ada pemberitahuan sebelumnya (surat terlambat datang).
Hal-hal seperti ini diharapakan tidak terjadi lagi dalam penerapan sistem administrasi modern yang telah berjalan selama ini sehingga minat masyarakat untuk membayar pajak dapat tumbuh sehingga kelancaran pembangunan negeri ini tidak terganggu

Bagaimana cara membayar Pajak yang benar ?
Untuk membayar pajak, Wajib Pajak dapat melakukannya di :
  • Bank-Bank Persepsi (Bank Mandiri, BCA, BNI, BII, dll)
  • Kantor Pos
  • Melalui ATM (Khusus PBB)
Sedangkan sarana untuk membayar pajak digunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang diisi dan ditandatangani oleh Wajib Pajak.
Yang menjadi wajib pajak :
Sebelumnya sudah disinggung mengenai yang wajib membayar pajak, itulah yang menjadi wajib pajak.

Jadi Wajib Pajak secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) :
  1. Orang pribadi
    Adalah mereka yang telah mempunyai penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dimana batasan PTKP tersebut ditentukan oleh Undang-Undang.
  2. Badan
    Adalah setiap sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan (organisasi, yayasan, perseroan, firma, koperasi, persekutuan, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya) yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha di wilayah Negara Kesatuan Repuplik Indonesia (NKRI)
Siapa saja yang wajib membayar pajak ??
Mengingat pajak adalah salah satu pendapatan bagi Negara untuk pambangunan dan kelangsungan pemerintahan itu sendiri, maka pada dasarnya setiap pribadi baik Warga Negara Indonesia atau Asing yang bertempat tinggal di Indonesia dan Badan yang didirikan/berkedudukan di Indonesia merupakan Wajib Pajak, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan lain.

Jadi setiap Orang / suatu Badan yang ada/didirikan/berkedudukan di Indonesia mempunyai kewajiban di bidang perpajakan.
Kenapa harus ada pajak ?
Di negara manapun pas ti terdapat pajak/tax, demikian juga di Indonesia, karena pajak merupakan sumber utama penerimaan bagi negara.
Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara tidak dapat dilaksanakan.

Penggunaan uang pajak meliputi :
  • Pembayaran gaji Pegaeai Negeri sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan;
  • Pembangunan sarana umum seperti jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor pemerintahan/polisi;
  • Pembiayaan lainnya dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat.
READ MORE - sistem perpajakan

Kebijakan Fiskal

Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.

Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :
1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.

2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.

3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
READ MORE - Kebijakan Fiskal

Rabu, 14 September 2011

PEMBANGUNAN

Jika tema "Ekonomi Kerakyatan: Arkeologi Pemikiran dan Kearifan Sistem Budaya Etnik Pra Indonesia-Modern" diterjemahkan secara bebas, pemahamannya adalah bahwa tema itu ingin mengupas ekonomi kerakyatan dari perspektif awal yang berakselerasi dengan budaya serta menekankan kewujudannya sejak dahulu. Tema yang secara "implisit" mengakui telah adanya ekonomi kerakyatan pada masa lalu ini, keinginannya masih "malu-malu" menempatkan ekonomi yang berorientasi "rakyat" duduk di pusat "tujuan pembangunan ekonomi". Sehingga harus berputar ke sejarah sebagai penguat langkah ekonomi kerakyatan dapat "digauli" secara ramah.
Sebelum menjawab pertanyaan eksistensi pembangunan ekonomi, alangkah baiknya kita memahami apa itu "ekonomi" terlebih dahulu. Menurut definisi yang disepakati oleh banyak pakar mengatakan bahwa ilmu ekonomi adalah suatu studi tentang perilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumber daya yang langka dan memiliki
beberapa alternatif penggunaan, dalam rangka memproduksi berbagai komoditi, untuk kemudian menyalurkannya baik saat ini maupun dimasa depan kepada berbagai individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat.
Definisi di atas diambil dari seorang ekonom berkebangsaan Amerika, yang kita kenal dia hidup lebih kental dengan faham kapitalis berbanding faham sosialis. Hal ini perlu tegaskan, bahwa definisi itu sudah sangat kuat difahami oleh sebagian ekonom dibelahan dunia yang mendukung konsep kapitalisme, sekalipun ia (ekonom) orang yang
berkebangsaan Indonesia. Dari definisi itu ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi, yaitu: perilaku, sumber daya, produksi, distribusi dan konsumsi sebagai landasan pembahasan mengenai ekonomi. Sehingga dominasi pembicaraan masalah ekonomi tidak akan terlepas dari beberapa hal di atas yang garis bawahi, begitu juga
jika kita sekarang akan membicarakan ekonomi kerakyatan.
Kini, ekonomi kerakyatan telah dan sedang ramai digunjing dan dibahas banyak orang. Ramainya pendalaman ekonomi kerakyatan saat ini sebenarnya bukanlah lebih diarahkan pada penggagasan bagaimana sebuah tatanan ekonomi kerakyatan wujud, tetapi lebih kepada reaksi dari "keberhasilan ekonomi kapitalis" yang kurang memihak kepada
masyarakat banyak. Seandainya konsep ekonomi kapitalis hasilnya memihak pada masyarakat banyak, maka sebenarnya istilah ekonomi kerakyatan tidak ramai dibicarakan, karena sebenarnya ekonomi kerakyatan itu mempunyai tujuan yang demikian.
Kehadiran ilmu ekonomi itu relatif baru dibandingkan dengan aktivitas ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, jika kita memahami ekonomi kerakyatan dari perspektif ilmu ekonomi, maka akan menemukan beberapa kesulitan, karena ilmu ekonomi yang berkembang saat ini lebih ke arah "kapitalisme". Lain halnya jika kita mencoba memahami
ekonomi yang berorientasi kerakyatan dalam perspektif aktivitas ekonomi.
Pemikiran Adam Smith bukanlah segala-galanya dalam ilmu ekonomi, tetapi ia merupakan awal dari ilmu ekonomi yang berkembang saat ini. Selanjutnya Keynes pada tahun 1836 melengkapi pemikiran Adam Smith sebagai langkah penguatan hidupnya ekonomi ke arah kapitalisme.
Begitu cepatnya fahaman ekonomi kapitalis berkembang, tentunya dalam kehidupan sangat banyak menyebabkan permasalahan sosial, menanggapi hal ini Kal Marx pada tahun 1867 telah menulis koreksi total terhadap fahaman kapitalis dalam buku Das Kapital (matinya kapitalisme). Dalam perkembangan kekinian, kedua-dua fahaman difahami sebagai pemahaman ekonomi yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dari dua kutub ilmu ekonomi yang sangat kontras ini muncul pemahaman baru yang lebih tenar disebut dengan "mixed economy" (ekonomi campuran).
Dalam dua arus besar pemahaman ilmu ekonomi, Indonesia mengambil pemahaman ekonomi campuran sebagai langkah legalisasi keberadaan campur tangan pemerintah dalam menggairahkan kapitalisme. Prasangka ini dikuatkan oleh langkah-langkah pemerintah Indonesia dalam perencanaan ekonominya mengambil The Big Push Theory sebagai dasar
strategi pembangunan ekonomi. Hal ini perlu ditelaah secara tajam, karena ide ekonomi kerakyatan yang ingin dikembangkan di Indonesia merupakan hal yang sangat sulit dilaksanakan. Kalaupun ada pemihakan pemerintah kepada rakyat paling hanya dapat diakomodir dengan penegasan "dalam The Big Push Theory itu ada Trickle Down Effect".
Pembangunan untuk Membangun Apa?
Disadari atau tidak bahwa pembangunan ekonomi saat ini telah diarahkan kepada matlamat ekonomi yang sempit yaitu terpusat pada pertumbuhan. Dalam perspektif yang lebih luas menyesalkan bahwa perencanaan tujuan pembangunan seharusnya diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar pembangunan ekonomi.
Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial dan budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Tujuan yang sempit dari pembangunan negara menjadi pemahaman pembangunan ekonomi telah mengecilkan makna pembangunan yang lain selain membangun ekonomi. Padahal pembangunan manusia dibidang pendidikan, keagamaan dan bidang lainnya yang jelas-jelas perlu dilakukan telah menjadi prioritas sampingan selain daripada
pembangunan ekonomi yang menjadi pusat aktivitas pembangunan.
Kesalahan ini begitu kuat dan telah mengakar pada aktivitas pembangunan kita sebagai akibat ekonomi menjadi tolok ukur segalanya (materialisme).
Jika kita bertanya, sebenarnya pembangunan itu untuk siapa? Maka hampir semua dari kita menjawab "untuk manusia". Jika pertanyaannya dilanjutkan "apakah manusia hanya perlu pembangunan ekonomi?", maka jawabannya pun "bukan hanya ekonomi". Oleh karena itu, pembangunan yang harus dilakukan negara bukan hanya pembangunan ekonomi tetapi
pembangunan yang memenuhi keperluan manusia dari aspek jasmani dan rohaninya.
Tujuan pembangunan ini perlu dikemukakan, karena untuk mempertegas kepentingan pembangunan ekonomi bukan hanya untuk meraih "akumulasi kapital" secara pribadi, tetapi ada peran komunitas yang harus difungsikan oleh pembangunan ekonomi. Dalam hal ini ekonomi kerakyatan akan tumbuh "subur" jika kapitalisme digeser kearah
sosialisme.
Pembangunan Ekonomi Indonesia sudah Merakyat? Munculnya istilah ekonomi kerakyatan di Indonesia mulai pada tahun 1931 dalam tulisan Mohd. Hatta yang berjudul "Perekonomian Kolonial-Kapital" dalam Harian Daulat Rakyat tanggal 20 November 1931. Perlu difahami bahwa ide ekonomi kerakyatan itu lebih kental di Indonesia dibandingkan negara-negara lain. Kalaupun ada isu yang berkembang di luar Indonesia itu hanya berkisar diseputar skala ekonomi (pengusaha besar, menengah dan kecil). Sementara ekonomi kerakyatan yang dimaksudkan di Indonesia bukan hanya skala ekonomi akan tetapi keinginannya jauh menuju kepada peran nilai-nilai lokal mempengaruhi kehidupan ekonomi.
Cetusan awal Mohd. Hatta itu sebenarnya bermula dari reaksinya terhadap penguasaan ekonomi oleh kolonialisme-VOC serta pelaksanaan UU Agraria tahun 1870. Model ini terus berkembang dan untuk konteks Indonesia masih berkelanjutan pada sistem ekonomi kapitalistik .
Oleh karena itu, warna pembangunan ekonomi yang dilakukan Indonesia sejak dulu (masa penjajahan) sampai orde baru masih bercorak yang sama yaitu pembangunan ekonomi yang berorientasi kapitalisme. Malahan selama masa penjajahan (sekitar 350 tahun) telah terjadi pemasungan gairah keusahawanan karena tidak adanya dukungan kemerdekaan ekonomi, kemampuan peribadi dan faktor-faktor lingkungan yang diciptakan secara sengaja oleh penjajah.
Adi Sasono mengatakan bahwa ekonomi kerakyatan adalah antitesa dan sekaligus sintesa dari ekonomi konglemerasi sentralisasi yang selama ini dianut oleh rezim Orde Baru. Dari pemikiran ini jelas, selama pembangunan ekonomi bercorak "wajah kapitalisme" kental, maka akan selalu berbenturan dengan keinginan ekonomi kerakyatan. Lebih-lebih
saat ini (Pemerintahan Megawati) yang sebenarnya kurang merespons paradigma pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan yang paling tidak dicirikan oleh empat hal; (1) dalam pidato kenegaraan, Presiden Megawati, mengungkapkan keraguannya atas konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat. Menurutnya, ekonomi kerakyatan sesungguhnya
belum jelas benar mengenai pengertian, lingkup, isi dan konsepnya.
(2) perimbangan APBN yang belum berpihak kepada ekonomi rakyat. Hal ini bisa dibaca dari anggaran yang diberikan pada sektor koperasi dan usaha kecil menengah (UKM), yang masih amat belum memadai.(3)pembaruan paket program kebijakan ekonomi dan keuangan antara pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF),
tampaknya tidak satu pun dari butir kesepakatan yang ada, menyebutkan keinginan untuk memperkuat basis ekonomi rakyat. Dan (4)kebijakan pemerintah pun belum pula menunjukkan keberpihakannya pada petani yang merupakan rakyat kebanyakan.
Jika mempertanyakan adanya ekonomi kerakyatan sebenarnya dalam makna yang lain sama dengan mempertanyakan mengenai eksistensi ekonomi kerakyatan. Oleh karenanya mempertanyakan eksistensi maka perlu dipahami apa itu eksistensi. Eksistensi menurut makna kamus adalah adanya, sadar akan adanya, keadaan kehidupan dan menjelma atau
menjadi ada. Jika eksistensi diterjemahkan keadalam makna yang lebih bebas, maka makna eksistensi menjadi sesuatu yang keberadaannya dengan secara sadar telah ada dalam kehidupan. Oleh karena itu, jika kita mencoba mengkaitkan makna bebas eksistensi dengan ekonomi kerakyatan, maka keberadaan ekonomi kerakyatan secara sadar telah ada dalam kehidupan sejak dulu.
Term ekonomi kerakyatan, jika kita coba bedah dari kata yang membentuknya, maka ianya terdiri dari dua kata yang digabungkan; pertama kata "ekonomi" dan kedua kata "kerakyatan". Mendalami ekonomi kerakyatan berarti berimplikasi kepada pendalaman mengenai ekonomi dan pendalaman mengenai kerakyatan. Kata kerakyatan yang
melengkapi kata ekonomi seakan-akan menerangkan arah tuju kemana sebenarnya ekonomi harus memihak dan bergerak. Oleh karena itu, membahas perjalanan ekonomi kerakyatan di Indonesia maka sebenarnya berimplikasi pada pembahasan perjalanan ekonomi dan
perjalanan kerakyatan di Indonesia. Membuka tabir perjalanan ekonomi tidaklah cukup melihat kajian sejarah ekonomi menurut perspektif umum, karena jika kita coba mentakrif apa definisi ekonomi menurut perspektif umum sebenarnya ia merupakan simpulan dari aktivitas manusia sejak manusia ada. Begitu juga tabir perjalanan kerakyatan tidaklah cukup membahas manusia yang jika kita menggolongkannya
manusia kelas "kecil", karena sebenarnya semua manusia yang bergabung dalam sebuah institusi negara maka kita menyebutnya dengan istilah "rakyat".
Pemahaman di atas sangat diperlukan karena sebagai alat untuk melihat konteks secara terintegrasi. Dengan demikian, makna ekonomi kerakyatan sebenarnya aktivitas ekonomi yang berpihak kepada rakyat (baik golongan atas, menengah dan kecil), bukan aktivitas ekonomi yang memihak pada rakyat kecil saja atau bahkan rakyat atas saja.
Jika kita mentakrifkan ekonomi kerakyatan adalah aktivitas ekonomi yang memihak kepada rakyat kecil saja, maka sebenarnya kita telah mencoba mengkhianati kerakyatan itu sendiri.
Hanya, yang jadi persoalan dalam ekonomi saat ini adalah mengapa hasil aktivitas ekonomi hanya dinikmati oleh kebanyakan golongan rakyat kelas atas dan menengah saja, yang secara akumulasi sedikit jumlahnya dibandingkan dengan jumlah rakyat kelas kecil yang sangat banyak. Melalui gambaran itu, jika kita akan membentuk sistem ekonomi kerakyatan maka sebenarnya sistem ekonomi itu harus mampu mengakomodir ketiga skala kelompok rakyat di atas yang terperhatikan melalui sistem ekonomi yang dibentuk.
Apa yang Dibangun agar Ekonomi bisa Merakyat?
Di atas saya telah mengatakan bahwa ilmu ekonomi dan aktivitas ekonomi dalam perkembangannya mempunyai perbedaan. Hal ini wajar karena realitas (empirikal) merupakan hal yang terus dijadikan bahan kajian ilmu ekonomi. Dengan demikian pertumbuhan ilmu akan sangat bergantung kepada perkembangan realitas (empirik) yang dikaji berdasarkan metode tertentu sehingga menjadi ilmu. Oleh karena kewajaran keilmuan dapat dilegalisir oleh metode ilmiah (alat membangun ilmu), maka sebenarnya "merakyatkan ekonomi" dapat dilakukan dari dua sisi, (1) sisi ilmu ekonomi dan (2) aktivitas ekonomi.
Merakyatkan ilmu ekonomi dapat ditempuh dengan cara pemberian nilai-nilai kerakyatan" dalam filosofi yang membentuk ilmu ekonomi. Hal ini penting karena kemapanan ilmu ekonomi awalnya dibentuk dari filosofi yang mendasarinya. Jika sekarang dalam ilmu ekonomi telah berkembang menjadi "kapitalisme", maka pada awal pembangunan ilmu
ekonomi telah ditanamkan nilai-nilai yang berbau kapital. Begitu juga jika kita ingin membentuk ilmu ekonomi kerakyatan, maka pada dataran filosofi perlu ditambahkan (jika tidak berani merubah) nilai-nilai kerakyatan sebagai bagian realitas (empirik) yang perlu dikaji secara keilmuan.
Sebenarnya, tak perlu muncul istilah ekonomi kerakyatan jika kita telah memasukan nilai-nilai kerakyatan dalam filosofi pembangunan ilmu ekonomi. Saya melihat, munculnya istilah ekonomi kerakyatan lebih besar kepentingan politisnya berbanding pembangunan ilmu ekonominya. Sekalipun diperlukan hasil ekonomi harus memihak pada
rakyat kebanyakan, itu sebenarnya lebih kental dengan dataran teknis dari implementasi ilmu ekonomi. Dalam hal ini saya ingin menegaskan "ekonomi ya ekonomi", sekalipun ia harus berpihak pada rakyat kebanyakan.
Cara lain merakyatkan ekonomi adalah memainkan peranan kerakyatan dalam aktivitas ekonomi. Pada sisi ini, merupakan lubang yang paling besar yang telah dimasuki "aktivis ekonomi kerakyatan" baik atas nama keilmuan mahupun atas nama politik. Jurus-jurus mengelola ekonomi berorientasi rakyat telah dan banyak dilakukan. Sebagai
contoh program pembangunan ekonomi yang diperuntukan untuk "rakyat kecil" semisal skim kredit untuk usaha kecil, inpres desa tertinggal dan program sejenisnya. Hal ini juga bisa terus dikembangkan sebagai pencarian kiat-kiat solusi ekonomi kerakyatan dalam menjawab kekhawatiran ekonomi bangsa yang memerlukan
READ MORE - PEMBANGUNAN

Rabu, 17 Agustus 2011

KETENAGAKERJAAN


Tersedianya lapangan/kesempatan kerja baru untuk mengatasi peningkatan penawaran tenaga kerja merupakan salah satu target yang harus dicapai dalam pembangunan ekonomi daerah. Upaya tersebut dapat diwujudkan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi khususnya investasi langsung (direct investment) pada sektor-sektor yang bersifat padat karya, seperti konstruksi, infrastruktur maupun industri pengolahan. Sementara pada sektor jasa, misalnya melalui perdagangan maupun pariwisata. Tenaga kerja adalah orang yang siap masuk dalam pasar kerja sesuai dengan upah yang ditawarkan oleh penyedia pekerjaan. Jumlah tenaga kerja dihitung dari penduduk usia produktif (umur 15 thn–65 thn) yang masuk kategori angkatan kerja (labour force).

Kondisi di negara berkembang pada umumnya memiliki tingkat pengangguran yang jauh lebih tinggi dari angka resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena ukuran sektor informal masih cukup besar sebagai salah satu lapangan nafkah bagi tenaga kerja tidak terdidik. Sektor informal tersebut dianggap sebagai katup pengaman bagi pengangguran.

Angka resmi tingkat pengangguran umumnya menggunakan indikator pengangguran terbuka, yaitu jumlah angkatan kerja yang secara sungguh-sungguh tidak bekerja sama sekali dan sedang mencari kerja pada saat survei dilakukan. Sementara yang setengah pengangguran dan penganggur terselubung tidak dihitung dalam angka pengangguran terbuka, karena mereka masih menggunakan waktu produktifnya selama seminggu untuk bekerja meskipun tidak sampai 35 jam penuh.

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2000, penduduk berumur 15 tahun ke atas yang termasuk angkatan kerja adalah 264.802 orang (BPS, 2005) atau 64,48 % dari jumlah penduduk sebesar 410.682 jiwa. Dilihat dari lokasi, sebagian besar tinggal di desa yaitu 211.681 jiwa, sedangkan di kota sebanyak 53.121 jiwa. Dari jumlah angkatan kerja tersebut yang bekerja adalah sebesar 89,01%, sedangkan sisanya 10,99% tidak bekerja atau menganggur. Dilihat aspek gender, sebagian besar yang menganggur adalah wanita (17,42%), sedangkan yang laki-laki sekitar 5,32%.

Apabila dilihat dari jumlah pencari kerja yang tercatat pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bima (2006) sebagian besar berpendidikan SMU keatas atau perguruan tinggi, yaitu sekitar 5.217 orang yang terdiri dari diploma III dan sarjana (S1). Sempitnya lapangan kerja di Kabupaten Bima tidak terlepas dari masih rendahnya potensi ekonomi yang dimanfaatkan terutama pada sektor pertanian. Adapun penyerapan tenaga kerja yang baru lebih banyak mengandalkan sektor jasa pemerintahan melalui kebijakan pemerintah pusat mengangkat tenaga honor daerah menjadi PNS dimana selama 2005 s/d 2009 diperkirakan mencapai lebih dari 5.000 orang.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam analisis ketenagakerjaan adalah berkaitan dengan rasio beban tanggungan atau burden of dependency ratio. Yang dimaksud dengan dependency ratio adalah beban yang ditanggung oleh penduduk produktif terhadap penduduk tidak produktif. Oleh karena itu, semakin banyak penduduk produktif yang tidak bekerja, maka dengan sendirinya akan meningkatkan beban tanggungan. Kondisi ini juga banyak ditemukan di Kabupaten Bima di mana masyarakatnya tinggal di wilayah pedesaan yang mana laki-laki muda banyak tidak bekerja demikian pula dengan wanitanya.

Masalah–masalah ketenagakerjaan di Kabupaten Bima yang paling menonjol antara lain :
1. Rendahnya minat tenaga kerja untuk menciptakan lapangan kerja baru melalui kegiatan wirausaha, terutama tamatan dari sekolah kejuruan maupun SMA.
2. Kurangnya inovasi di bidang pertanian, industri dan sektor jasa dalam meningkatkan investasi padat tenaga kerja.
3. Tenaga kerja berpendidikan sarjana umumnya bekerja sebagai setengah penganggur karena memasuki bidang yang tidak sesuai dengan keahliannya dan bekerja kurang dari 36 jam per minggu.
4. Minimnya investasi dan pabrik yang dapat menampung tenaga kerja skala besar.
5. Tidak seimbangnya antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, yang disebabkan oleh kualifikasi sarjana di Kabupaten Bima didominasi oleh ilmu–ilmu sosial dibandingkan ilmu–ilmu eksakta yang lebih bersifat aplikatif.
6. Hambatan budaya yang lebih memandang PNS sebagai pekerjaan prestisius, sehingga mematikan kreatifitas untuk bekerja di luar sektor jasa pemerintahan.

Dari kajian tekstual yang dilakukan KPPOD (2006) , dalam aspek kebijakan dan regulasi (Perda/SK Kepala Daerah), peta persoalan umum yang menandai distorsi kebijakan ketenagakerjaan di sejumlah daerah dalam masa pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini adalah :
Pertama, pelanggaran dalam hal perijinan dan pungutan terkait penggunaan tenaga kerja asing. Padahal, Perijinan (menurut Pasal 42 UU No.13 Tahun 2003) maupun pungutan (menurut Pasal 3 PP No.92 Tahun 2002) yang terkait dengan penggunaan TKA berada di pusat.
Kedua, pungutan yang tidak proporsional dan amat lemah dalam acuan konsiderans.
Ketiga, diskriminasi gender. Di sejumlah daerah ditemukan cukup banyak perda yang mengatur jam kerja lembur atau ijin kerja lembur malam bagi wanita dan mengenakan pungutan (retribusi) tertentu atasnya.
Keempat, proteksionisme (perlindungan berlebihan) bagi tenaga kerja lokal. Tidak hanya terjadi dalam sektor pemerintahan, dimana muncul tuntutan preferensi berlebihan bagi putera daerah untuk duduk dalam jabatan-jabatan strategis (politik dan birokrasi), gejala serupa juga terjadi dalam dunia swasta (bahkan tidak sekedar sebagai tuntutan pemerintah) terkait pemberian kesempatan kerja, dimana perusahaan wajib memberikan jatah, yang bahkan dengan patokan kuota tertentu bagi putera daerah untuk sesuatu pekerjaan dalam perusahaan tersebut.

Begitu pentingnya posisi pengaruh faktor Ketenagakerjaan di satu sisi dan banyaknya persoalan pada sisi lain menyebabkan efek serius bagi kelancaran berusaha di daerah. Semua itu menambah biaya tambahan (additional cost) dalam ongkos berbisnis (cost of doing business), baik biaya waktu (banyaknya waktu untuk bernegosiasi dengan pihak buruh dan pemda) maupun biaya material karena berbagai pungutan legal dan ilegal yang ada. Kekakuan dalam kebijakan ketenagakerjaan kita maupun iklim kebijakan makro yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah merupakan peta jalan kemana arah menelusuri persoalan.

Berdasarkan beberapa kasus daerah lain di atas, tampaknya persoalan kebijakan ketenagakerjaan di Kabupaten Bima belum begitu kompleks sebagaimana dialami daerah yang telah maju sektor industri dan jasanya. Bahkan, penanganan ketenagakerjaan di Kabupaten Bima dari aspek upah saja belum dapat ditangani dengan baik, belum masalah-masalah seperti keselamatan kerja dan perlindungan tenaga kerja lainnya sesuai dengan amanat perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
READ MORE - KETENAGAKERJAAN