Jika tema "Ekonomi Kerakyatan: Arkeologi Pemikiran dan Kearifan Sistem Budaya Etnik Pra Indonesia-Modern" diterjemahkan secara bebas, pemahamannya adalah bahwa tema itu ingin mengupas ekonomi kerakyatan dari perspektif awal yang berakselerasi dengan budaya serta menekankan kewujudannya sejak dahulu. Tema yang secara "implisit" mengakui telah adanya ekonomi kerakyatan pada masa lalu ini, keinginannya masih "malu-malu" menempatkan ekonomi yang berorientasi "rakyat" duduk di pusat "tujuan pembangunan ekonomi". Sehingga harus berputar ke sejarah sebagai penguat langkah ekonomi kerakyatan dapat "digauli" secara ramah.
Sebelum menjawab pertanyaan eksistensi pembangunan ekonomi, alangkah baiknya kita memahami apa itu "ekonomi" terlebih dahulu. Menurut definisi yang disepakati oleh banyak pakar mengatakan bahwa ilmu ekonomi adalah suatu studi tentang perilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumber daya yang langka dan memiliki
beberapa alternatif penggunaan, dalam rangka memproduksi berbagai komoditi, untuk kemudian menyalurkannya baik saat ini maupun dimasa depan kepada berbagai individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat.
Definisi di atas diambil dari seorang ekonom berkebangsaan Amerika, yang kita kenal dia hidup lebih kental dengan faham kapitalis berbanding faham sosialis. Hal ini perlu tegaskan, bahwa definisi itu sudah sangat kuat difahami oleh sebagian ekonom dibelahan dunia yang mendukung konsep kapitalisme, sekalipun ia (ekonom) orang yang
berkebangsaan Indonesia. Dari definisi itu ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi, yaitu: perilaku, sumber daya, produksi, distribusi dan konsumsi sebagai landasan pembahasan mengenai ekonomi. Sehingga dominasi pembicaraan masalah ekonomi tidak akan terlepas dari beberapa hal di atas yang garis bawahi, begitu juga
jika kita sekarang akan membicarakan ekonomi kerakyatan.
Kini, ekonomi kerakyatan telah dan sedang ramai digunjing dan dibahas banyak orang. Ramainya pendalaman ekonomi kerakyatan saat ini sebenarnya bukanlah lebih diarahkan pada penggagasan bagaimana sebuah tatanan ekonomi kerakyatan wujud, tetapi lebih kepada reaksi dari "keberhasilan ekonomi kapitalis" yang kurang memihak kepada
masyarakat banyak. Seandainya konsep ekonomi kapitalis hasilnya memihak pada masyarakat banyak, maka sebenarnya istilah ekonomi kerakyatan tidak ramai dibicarakan, karena sebenarnya ekonomi kerakyatan itu mempunyai tujuan yang demikian.
Kehadiran ilmu ekonomi itu relatif baru dibandingkan dengan aktivitas ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, jika kita memahami ekonomi kerakyatan dari perspektif ilmu ekonomi, maka akan menemukan beberapa kesulitan, karena ilmu ekonomi yang berkembang saat ini lebih ke arah "kapitalisme". Lain halnya jika kita mencoba memahami
ekonomi yang berorientasi kerakyatan dalam perspektif aktivitas ekonomi.
Pemikiran Adam Smith bukanlah segala-galanya dalam ilmu ekonomi, tetapi ia merupakan awal dari ilmu ekonomi yang berkembang saat ini. Selanjutnya Keynes pada tahun 1836 melengkapi pemikiran Adam Smith sebagai langkah penguatan hidupnya ekonomi ke arah kapitalisme.
Begitu cepatnya fahaman ekonomi kapitalis berkembang, tentunya dalam kehidupan sangat banyak menyebabkan permasalahan sosial, menanggapi hal ini Kal Marx pada tahun 1867 telah menulis koreksi total terhadap fahaman kapitalis dalam buku Das Kapital (matinya kapitalisme). Dalam perkembangan kekinian, kedua-dua fahaman difahami sebagai pemahaman ekonomi yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dari dua kutub ilmu ekonomi yang sangat kontras ini muncul pemahaman baru yang lebih tenar disebut dengan "mixed economy" (ekonomi campuran).
Dalam dua arus besar pemahaman ilmu ekonomi, Indonesia mengambil pemahaman ekonomi campuran sebagai langkah legalisasi keberadaan campur tangan pemerintah dalam menggairahkan kapitalisme. Prasangka ini dikuatkan oleh langkah-langkah pemerintah Indonesia dalam perencanaan ekonominya mengambil The Big Push Theory sebagai dasar
strategi pembangunan ekonomi. Hal ini perlu ditelaah secara tajam, karena ide ekonomi kerakyatan yang ingin dikembangkan di Indonesia merupakan hal yang sangat sulit dilaksanakan. Kalaupun ada pemihakan pemerintah kepada rakyat paling hanya dapat diakomodir dengan penegasan "dalam The Big Push Theory itu ada Trickle Down Effect".
Pembangunan untuk Membangun Apa?
Disadari atau tidak bahwa pembangunan ekonomi saat ini telah diarahkan kepada matlamat ekonomi yang sempit yaitu terpusat pada pertumbuhan. Dalam perspektif yang lebih luas menyesalkan bahwa perencanaan tujuan pembangunan seharusnya diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar pembangunan ekonomi.
Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial dan budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Tujuan yang sempit dari pembangunan negara menjadi pemahaman pembangunan ekonomi telah mengecilkan makna pembangunan yang lain selain membangun ekonomi. Padahal pembangunan manusia dibidang pendidikan, keagamaan dan bidang lainnya yang jelas-jelas perlu dilakukan telah menjadi prioritas sampingan selain daripada
pembangunan ekonomi yang menjadi pusat aktivitas pembangunan.
Kesalahan ini begitu kuat dan telah mengakar pada aktivitas pembangunan kita sebagai akibat ekonomi menjadi tolok ukur segalanya (materialisme).
Jika kita bertanya, sebenarnya pembangunan itu untuk siapa? Maka hampir semua dari kita menjawab "untuk manusia". Jika pertanyaannya dilanjutkan "apakah manusia hanya perlu pembangunan ekonomi?", maka jawabannya pun "bukan hanya ekonomi". Oleh karena itu, pembangunan yang harus dilakukan negara bukan hanya pembangunan ekonomi tetapi
pembangunan yang memenuhi keperluan manusia dari aspek jasmani dan rohaninya.
Tujuan pembangunan ini perlu dikemukakan, karena untuk mempertegas kepentingan pembangunan ekonomi bukan hanya untuk meraih "akumulasi kapital" secara pribadi, tetapi ada peran komunitas yang harus difungsikan oleh pembangunan ekonomi. Dalam hal ini ekonomi kerakyatan akan tumbuh "subur" jika kapitalisme digeser kearah
sosialisme.
Pembangunan Ekonomi Indonesia sudah Merakyat? Munculnya istilah ekonomi kerakyatan di Indonesia mulai pada tahun 1931 dalam tulisan Mohd. Hatta yang berjudul "Perekonomian Kolonial-Kapital" dalam Harian Daulat Rakyat tanggal 20 November 1931. Perlu difahami bahwa ide ekonomi kerakyatan itu lebih kental di Indonesia dibandingkan negara-negara lain. Kalaupun ada isu yang berkembang di luar Indonesia itu hanya berkisar diseputar skala ekonomi (pengusaha besar, menengah dan kecil). Sementara ekonomi kerakyatan yang dimaksudkan di Indonesia bukan hanya skala ekonomi akan tetapi keinginannya jauh menuju kepada peran nilai-nilai lokal mempengaruhi kehidupan ekonomi.
Cetusan awal Mohd. Hatta itu sebenarnya bermula dari reaksinya terhadap penguasaan ekonomi oleh kolonialisme-VOC serta pelaksanaan UU Agraria tahun 1870. Model ini terus berkembang dan untuk konteks Indonesia masih berkelanjutan pada sistem ekonomi kapitalistik .
Oleh karena itu, warna pembangunan ekonomi yang dilakukan Indonesia sejak dulu (masa penjajahan) sampai orde baru masih bercorak yang sama yaitu pembangunan ekonomi yang berorientasi kapitalisme. Malahan selama masa penjajahan (sekitar 350 tahun) telah terjadi pemasungan gairah keusahawanan karena tidak adanya dukungan kemerdekaan ekonomi, kemampuan peribadi dan faktor-faktor lingkungan yang diciptakan secara sengaja oleh penjajah.
Adi Sasono mengatakan bahwa ekonomi kerakyatan adalah antitesa dan sekaligus sintesa dari ekonomi konglemerasi sentralisasi yang selama ini dianut oleh rezim Orde Baru. Dari pemikiran ini jelas, selama pembangunan ekonomi bercorak "wajah kapitalisme" kental, maka akan selalu berbenturan dengan keinginan ekonomi kerakyatan. Lebih-lebih
saat ini (Pemerintahan Megawati) yang sebenarnya kurang merespons paradigma pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan yang paling tidak dicirikan oleh empat hal; (1) dalam pidato kenegaraan, Presiden Megawati, mengungkapkan keraguannya atas konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat. Menurutnya, ekonomi kerakyatan sesungguhnya
belum jelas benar mengenai pengertian, lingkup, isi dan konsepnya.
(2) perimbangan APBN yang belum berpihak kepada ekonomi rakyat. Hal ini bisa dibaca dari anggaran yang diberikan pada sektor koperasi dan usaha kecil menengah (UKM), yang masih amat belum memadai.(3)pembaruan paket program kebijakan ekonomi dan keuangan antara pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF),
tampaknya tidak satu pun dari butir kesepakatan yang ada, menyebutkan keinginan untuk memperkuat basis ekonomi rakyat. Dan (4)kebijakan pemerintah pun belum pula menunjukkan keberpihakannya pada petani yang merupakan rakyat kebanyakan.
Jika mempertanyakan adanya ekonomi kerakyatan sebenarnya dalam makna yang lain sama dengan mempertanyakan mengenai eksistensi ekonomi kerakyatan. Oleh karenanya mempertanyakan eksistensi maka perlu dipahami apa itu eksistensi. Eksistensi menurut makna kamus adalah adanya, sadar akan adanya, keadaan kehidupan dan menjelma atau
menjadi ada. Jika eksistensi diterjemahkan keadalam makna yang lebih bebas, maka makna eksistensi menjadi sesuatu yang keberadaannya dengan secara sadar telah ada dalam kehidupan. Oleh karena itu, jika kita mencoba mengkaitkan makna bebas eksistensi dengan ekonomi kerakyatan, maka keberadaan ekonomi kerakyatan secara sadar telah ada dalam kehidupan sejak dulu.
Term ekonomi kerakyatan, jika kita coba bedah dari kata yang membentuknya, maka ianya terdiri dari dua kata yang digabungkan; pertama kata "ekonomi" dan kedua kata "kerakyatan". Mendalami ekonomi kerakyatan berarti berimplikasi kepada pendalaman mengenai ekonomi dan pendalaman mengenai kerakyatan. Kata kerakyatan yang
melengkapi kata ekonomi seakan-akan menerangkan arah tuju kemana sebenarnya ekonomi harus memihak dan bergerak. Oleh karena itu, membahas perjalanan ekonomi kerakyatan di Indonesia maka sebenarnya berimplikasi pada pembahasan perjalanan ekonomi dan
perjalanan kerakyatan di Indonesia. Membuka tabir perjalanan ekonomi tidaklah cukup melihat kajian sejarah ekonomi menurut perspektif umum, karena jika kita coba mentakrif apa definisi ekonomi menurut perspektif umum sebenarnya ia merupakan simpulan dari aktivitas manusia sejak manusia ada. Begitu juga tabir perjalanan kerakyatan tidaklah cukup membahas manusia yang jika kita menggolongkannya
manusia kelas "kecil", karena sebenarnya semua manusia yang bergabung dalam sebuah institusi negara maka kita menyebutnya dengan istilah "rakyat".
Pemahaman di atas sangat diperlukan karena sebagai alat untuk melihat konteks secara terintegrasi. Dengan demikian, makna ekonomi kerakyatan sebenarnya aktivitas ekonomi yang berpihak kepada rakyat (baik golongan atas, menengah dan kecil), bukan aktivitas ekonomi yang memihak pada rakyat kecil saja atau bahkan rakyat atas saja.
Jika kita mentakrifkan ekonomi kerakyatan adalah aktivitas ekonomi yang memihak kepada rakyat kecil saja, maka sebenarnya kita telah mencoba mengkhianati kerakyatan itu sendiri.
Hanya, yang jadi persoalan dalam ekonomi saat ini adalah mengapa hasil aktivitas ekonomi hanya dinikmati oleh kebanyakan golongan rakyat kelas atas dan menengah saja, yang secara akumulasi sedikit jumlahnya dibandingkan dengan jumlah rakyat kelas kecil yang sangat banyak. Melalui gambaran itu, jika kita akan membentuk sistem ekonomi kerakyatan maka sebenarnya sistem ekonomi itu harus mampu mengakomodir ketiga skala kelompok rakyat di atas yang terperhatikan melalui sistem ekonomi yang dibentuk.
Apa yang Dibangun agar Ekonomi bisa Merakyat?
Di atas saya telah mengatakan bahwa ilmu ekonomi dan aktivitas ekonomi dalam perkembangannya mempunyai perbedaan. Hal ini wajar karena realitas (empirikal) merupakan hal yang terus dijadikan bahan kajian ilmu ekonomi. Dengan demikian pertumbuhan ilmu akan sangat bergantung kepada perkembangan realitas (empirik) yang dikaji berdasarkan metode tertentu sehingga menjadi ilmu. Oleh karena kewajaran keilmuan dapat dilegalisir oleh metode ilmiah (alat membangun ilmu), maka sebenarnya "merakyatkan ekonomi" dapat dilakukan dari dua sisi, (1) sisi ilmu ekonomi dan (2) aktivitas ekonomi.
Merakyatkan ilmu ekonomi dapat ditempuh dengan cara pemberian nilai-nilai kerakyatan" dalam filosofi yang membentuk ilmu ekonomi. Hal ini penting karena kemapanan ilmu ekonomi awalnya dibentuk dari filosofi yang mendasarinya. Jika sekarang dalam ilmu ekonomi telah berkembang menjadi "kapitalisme", maka pada awal pembangunan ilmu
ekonomi telah ditanamkan nilai-nilai yang berbau kapital. Begitu juga jika kita ingin membentuk ilmu ekonomi kerakyatan, maka pada dataran filosofi perlu ditambahkan (jika tidak berani merubah) nilai-nilai kerakyatan sebagai bagian realitas (empirik) yang perlu dikaji secara keilmuan.
Sebenarnya, tak perlu muncul istilah ekonomi kerakyatan jika kita telah memasukan nilai-nilai kerakyatan dalam filosofi pembangunan ilmu ekonomi. Saya melihat, munculnya istilah ekonomi kerakyatan lebih besar kepentingan politisnya berbanding pembangunan ilmu ekonominya. Sekalipun diperlukan hasil ekonomi harus memihak pada
rakyat kebanyakan, itu sebenarnya lebih kental dengan dataran teknis dari implementasi ilmu ekonomi. Dalam hal ini saya ingin menegaskan "ekonomi ya ekonomi", sekalipun ia harus berpihak pada rakyat kebanyakan.
Cara lain merakyatkan ekonomi adalah memainkan peranan kerakyatan dalam aktivitas ekonomi. Pada sisi ini, merupakan lubang yang paling besar yang telah dimasuki "aktivis ekonomi kerakyatan" baik atas nama keilmuan mahupun atas nama politik. Jurus-jurus mengelola ekonomi berorientasi rakyat telah dan banyak dilakukan. Sebagai
contoh program pembangunan ekonomi yang diperuntukan untuk "rakyat kecil" semisal skim kredit untuk usaha kecil, inpres desa tertinggal dan program sejenisnya. Hal ini juga bisa terus dikembangkan sebagai pencarian kiat-kiat solusi ekonomi kerakyatan dalam menjawab kekhawatiran ekonomi bangsa yang memerlukan
Rabu, 14 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar